Minggu, 27 November 2011

I love SINETRON Indonesia :D


Gak bisa bayangin orang yang sanggup melototin sinteron Indonesia berjam-jam. Bukannya aku heran, kok bisa mereka tahan aja nonton sinetron Indonesia. Apalagi sinteron Indonesia itu klimaksnya standar-standar aja men. Ambil contoh, jika tokohnya menyebrang jalan di jalan yang sepi, gak usah diberitahu, udah ketebak dia bakal ketabrak sama kendaraan. Apalagi men, udah tahu mau ketabrak, si tokohnya itu malah diem di tengah jalan dan berteriak gak jelas. Kayak refleknya itu masih bagusan refleknya anak SD. Kalau sudah ditabrak, orang-orang disekitarnya itu malah cumin ngerumuni tokoh yang bisa dikatakan sekarat. Seenggak-enggaknya nolongin atau dibawa ke RS lah. Itu malah kayak ngegossip di tengah penderitaan orang. Mungkin waktu sekolah gak ikut PMR mereka.
Terus men, di Sinetron Indonesia itu wajib hukumnya ada si miskin dan si kaya. Dan kebanyakan yang kaya itu jadi orang antagonis. Seakan-akan men, si kaya itu gak ada baiknya sama sekali. Dan si kaya itu mukanya sepet banget kalau dilihat-lihat men. Kalau gak melotot dan bentak-bentak si miskin, gak pas banget jadi si kaya. Tapi kadang lucu juga men kalau si kayanya itu orang cina. Gimana bisa mau melototin si miskin coba kalau matanya itu sudah maksimal. Walaupun sering marah-marah, pepatah kalau marah, cepat tua itu gak berlaku di si kaya. Karena men, gimana bisa cepet tua kalau bawaannya mukanya sering labil. Dan si miskin, di sini ada yang antagonis dan ada yang protagonist. Yang antagonis itu men, mirip banget sama parasit. Sukanya itu ngikutin hal-hal negativenya si kaya. Kayak gak ada kerjaan yang manfaat lainnya aja. Dia lebih suka membantu si kaya membunuh si miskin, ngeracun si miskin, dll. Sudah miskin, sifatnya sepet, mungkin itu penyebabnya dia jadi si miskin terus. Dan yang protagonis itu ngenes banget men rasanya kalau dilihat-lihat. Kalau dikerjain sama si kaya, bawaannya tabah terus, senyum terus. Sampai-sampai men, kalau diracun sama si kaya, dia itu malah diem aja gak ada tindakan nuntutnya. Ya paling, kalau dia ngelawan si kaya, sama sutradaranya gak dikasih honor dia.
Terus men, yang namanya back sound itu wajib banget di sinteron-sinetron Indonesia men. Back soundnya itu lebih sering pakai suara-suara orchestra yang lebih banyak main biolanya men. Apalagi pas puncak klimaks, tambah menjadi-menjadi aja men. Alay banget rasanya men. Bikin telinga gatel terus. Coba aja kalau back soundnya itu diganti sama musik-musik ornamen alat-alat music daerah Bali, Jawa, atau Sulawesi atau daerah nusantara lainnya. Bakal lebih pas didenger di telinga men. Dan kalau udah gitu, mungkin gak aka nada ceritanya alat music tradisional Indonesia diklaim sama Negara lain.
Selain itu, sekarang di sinetron-sinetron Indonesia sedang nge-trend-nge-trendnya cerita anak satu tokoh ditukar dengan anak tokoh yang lainnya. Biasanya, yang ditukar itu anaknya si kaya dengan si miskin. Di sisi ini, biasanya si kaya adalah protagonis dan si miskin adalah antagonis. Dan itu lucu banget menurutku men. Apalagi men, biasanya kalau anak yang ditukar itu sudah besar. Yang anak tukar dari si miskin itu antagonis dan yang anak tukar dari si kaya itu protagonis. Aku ada pengalaman men. Suatu saat, tanteku melahirkan. Bayinya itu masih merah dan sulit untukku membedakan dengan bayi yang lainnya. Bayinya itu ditidurkan di suatu kasur kecil berpenghangat berdampingan dengan bayi orang lain. Aku pun tertawa terbahak-bahak karena bibiku khawatir jika bayinya tanteku tertukar dengan bayi yang di sebelahnya. Kegiatan rutin bibiku menonton sinetron benar-benar mempengaruhi pikikran dari bibiku.
Sebenernya entri ini bukanlah bertujuan untuk mengolok-olok industry sinetron Indonesia. Tapi aku hanya mengomentari dari bagian-bagian yang lumayan lucu bagiku untuk dikomentari. Anda saja jika produsen dari berbagai industri pesinetronan di Indonesia lebih memintingkan kualitas dan isi dari sinetron tersbut, pasti sinetron-sinetron di Indonesia akan lebih dicintai rakyat Indonesia dan memberi kesan positive kepada semua penontonnya. Tetapi masih disayangkan men, menurutku para produsen lebih mementingkan rate daripada kualitasnya. Jadi, maju terus industri pesinetronan Indonesia.

2 komentar: