Gak bisa bayangin orang yang
sanggup melototin sinteron Indonesia berjam-jam. Bukannya aku heran, kok bisa
mereka tahan aja nonton sinetron Indonesia. Apalagi sinteron Indonesia itu
klimaksnya standar-standar aja men. Ambil contoh, jika tokohnya menyebrang
jalan di jalan yang sepi, gak usah diberitahu, udah ketebak dia bakal ketabrak
sama kendaraan. Apalagi men, udah tahu mau ketabrak, si tokohnya itu malah diem
di tengah jalan dan berteriak gak jelas. Kayak refleknya itu masih bagusan
refleknya anak SD. Kalau sudah ditabrak, orang-orang disekitarnya itu malah
cumin ngerumuni tokoh yang bisa dikatakan sekarat. Seenggak-enggaknya nolongin
atau dibawa ke RS lah. Itu malah kayak ngegossip di tengah penderitaan orang.
Mungkin waktu sekolah gak ikut PMR mereka.
Terus men, di Sinetron Indonesia
itu wajib hukumnya ada si miskin dan si kaya. Dan kebanyakan yang kaya itu jadi
orang antagonis. Seakan-akan men, si kaya itu gak ada baiknya sama sekali. Dan
si kaya itu mukanya sepet banget kalau dilihat-lihat men. Kalau gak melotot dan
bentak-bentak si miskin, gak pas banget jadi si kaya. Tapi kadang lucu juga men
kalau si kayanya itu orang cina. Gimana bisa mau melototin si miskin coba kalau
matanya itu sudah maksimal. Walaupun sering marah-marah, pepatah kalau marah, cepat tua itu gak berlaku
di si kaya. Karena men, gimana bisa cepet tua kalau bawaannya mukanya sering
labil. Dan si miskin, di sini ada yang antagonis dan ada yang protagonist. Yang
antagonis itu men, mirip banget sama parasit. Sukanya itu ngikutin hal-hal negativenya
si kaya. Kayak gak ada kerjaan yang manfaat lainnya aja. Dia lebih suka
membantu si kaya membunuh si miskin, ngeracun si miskin, dll. Sudah miskin,
sifatnya sepet, mungkin itu penyebabnya dia jadi si miskin terus. Dan yang
protagonis itu ngenes banget men
rasanya kalau dilihat-lihat. Kalau dikerjain sama si kaya, bawaannya tabah
terus, senyum terus. Sampai-sampai men, kalau diracun sama si kaya, dia itu
malah diem aja gak ada tindakan nuntutnya. Ya paling, kalau dia ngelawan si
kaya, sama sutradaranya gak dikasih honor dia.
Terus men, yang namanya back sound itu
wajib banget di sinteron-sinetron Indonesia men. Back soundnya itu lebih sering
pakai suara-suara orchestra yang lebih banyak main biolanya men. Apalagi pas
puncak klimaks, tambah menjadi-menjadi aja men. Alay banget rasanya men. Bikin
telinga gatel terus. Coba aja kalau back soundnya itu diganti sama musik-musik
ornamen alat-alat music daerah Bali, Jawa, atau Sulawesi atau daerah nusantara
lainnya. Bakal lebih pas didenger di telinga men. Dan kalau udah gitu, mungkin
gak aka nada ceritanya alat music tradisional Indonesia diklaim sama Negara
lain.
Selain itu, sekarang di
sinetron-sinetron Indonesia sedang nge-trend-nge-trendnya cerita anak satu
tokoh ditukar dengan anak tokoh yang lainnya. Biasanya, yang ditukar itu
anaknya si kaya dengan si miskin. Di sisi ini, biasanya si kaya adalah
protagonis dan si miskin adalah antagonis. Dan itu lucu banget menurutku men.
Apalagi men, biasanya kalau anak yang ditukar itu sudah besar. Yang anak tukar
dari si miskin itu antagonis dan yang anak tukar dari si kaya itu protagonis.
Aku ada pengalaman men. Suatu saat, tanteku melahirkan. Bayinya itu masih merah
dan sulit untukku membedakan dengan bayi yang lainnya. Bayinya itu ditidurkan
di suatu kasur kecil berpenghangat berdampingan dengan bayi orang lain. Aku pun
tertawa terbahak-bahak karena bibiku khawatir jika bayinya tanteku tertukar
dengan bayi yang di sebelahnya. Kegiatan rutin bibiku menonton sinetron
benar-benar mempengaruhi pikikran dari bibiku.
Sebenernya entri ini bukanlah
bertujuan untuk mengolok-olok industry sinetron Indonesia. Tapi aku hanya
mengomentari dari bagian-bagian yang lumayan lucu bagiku untuk dikomentari.
Anda saja jika produsen dari berbagai industri pesinetronan di Indonesia lebih
memintingkan kualitas dan isi dari sinetron tersbut, pasti sinetron-sinetron di
Indonesia akan lebih dicintai rakyat Indonesia dan memberi kesan positive
kepada semua penontonnya. Tetapi masih disayangkan men, menurutku para produsen
lebih mementingkan rate daripada kualitasnya. Jadi, maju terus industri
pesinetronan Indonesia.
setuju banget , :P
BalasHapushahaha
BalasHapusterima kasih Kristina :)
ini aku ngarang sendiri, bukan coppas :P